Monday 30 November 2015


Diceritakan bahwa Ridwan dan Ema adalah sepasang suami istri yang berkat kasih sayang Tuhan dipertemukan kembali di surga. Ketika di dunia, Ridwan dan Ema terkenal karena kesolehan mereka. Ridwan dan Ema selalu berdoa kepada Tuhan agar mereka diijinkan terus bersama, baik di dunia maupun di akhirat. Do’a mereka dikabulkan Tuhan. Di usia tujuh puluhan, Ridwan dan Ema meninggal dalam keadaan sholat berjama’ah, dengan senyum damai menghiasi bibir mereka. Tidak hanya itu, setelah melewati pengadilan Mahsyar pun, mereka berjalan bersama meniti jembatan Siratal Mustaqim.
Sesampainya di surga, Ridwan dan Ema tinggal di sebuah rumah yang dalam segala hal: kebesaran, keindahan, kemewahan, kenyamanan, keamanan, tak akan pernah terbayangkan di dunia. (Jadi lebih baik tidak digambarkan di sini). Sebagai laki-laki, Ridwan mendapat jatah khusus berupa 40 bidadari dengan kecantikan tak terperi. Keempat puluh bidadari itu menghuni paviliun-paviliun di belakang rumah Ridwan dan Ema, dan kapan saja siap dikunjungi. Tapi Ridwan tak pernah sekali pun menengok mereka. Setiap saat ia berduaan saja dengan Ema. Hanya Ema seorang yang ia rayu dan cumbu. Tentu saja Ema senang sekali.
Suatu kali Ema berkata, “Suamiku, di sini banyak bidadari bermata jeli dan berbodi seksi. Aku tak keberatan jika kamu mencobai salah satu dari mereka atau bahkan semuanya.”
“Ah, Istriku, apalah artinya mereka dibanding dirimu? Hakikatnya bidadari-bidadari itu tak lebih dari pelacur….”
Ema lekas melintangkan jarinya di mulut Ridwan. “Ssstt, hati-hati bicaramu, Sayang. Nanti Tuhan tersinggung.”
“Hehehe, jangan kuatir. Di surga tidak ada yang mencatat amal-amal kita dan tidak akan ada lagi pengadilan.”
“Tapi mereka istri-istrimu, hadiah Tuhan untukmu sebagai penghuni surga.”
“Lebih tepatnya: istri simpanan, atau gundik, atau selir, atau harem. Kamu tahu, istriku, di dunia dulu, harem-harem itu sering menjadi barang hadiah di antara para raja dan bangsawan. Mengapa? Karena mereka hakikatnya tak lebih dari budak. Bedanya mereka cantik. Dan khusus bidadari, tinggalnya di surga. Tapi itu tak mengubah fakta bahwa mereka diciptakan hanya dengan satu tujuan: untuk menjadi pemuas nafsu seks laki-laki. Andaikata mereka kusuruh mencuci kakimu saja, itu sudah merupakan satu kehormatan besar bagi mereka.”
Ema terkikik. “Sayangnya di surga sini kakiku tak pernah kotor.”
***
Mulanya tiap-tiap bidadari itu menduga, mungkin Ridwan masih keasyikan dengan salah satu bidadari hingga lupa bahwa masih banyak bidadari yang lain. Namun setelah bertahun-tahun tak pernah dikunjungi, mereka pun mulai berkomunikasi dengan sesamanya, dan tahulah mereka bahwa nasib mereka semua serupa.
Mereka jadi bertanya-tanya dalam hati mengapa bisa begitu. Untuk mencari tahu sekaligus menepis kebosanan, sesekali satu atau dua dari mereka keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman. Terkadang mereka lihat Ridwan dan Ema tengah bercumbu di beranda rumah atau di salah satu sudut taman, namun mereka tak berani mendekat sebab tak diperbolehkan bagi mereka untuk mengganggu saat tuan dan nyonya besar sedang berduaan.
Mereka jadi bingung. Ingin mereka mendekati Ridwan, yang adalah suami mereka juga, tapi setiap saat setiap detik Ridwan selalu bersama Ema.
Mereka pun nyaris tak percaya, bagaimana mungkin seorang lelaki penghuni surga tidak tergiur dengan bidadari, yang penggambarannya dalam kitab suci, ketika di dunia, sanggup membuat orang rela meledakkan bom bunuh diri?
Berabad-abad kemudian, keadaan masih tetap seperti itu. Para bidadari semakin gelisah. Mereka hanya bisa saling mengunjungi satu sama lain dan berkeluh kesah tentang keadaan masing-masing.
Setelah ribuan tahun tak ada perubahan, akhirnya mereka sepakat untuk mengadu kepada malaikat penjaga surga.
“Wahai malaikat penjaga surga, tolong sampaikan kepada Tuhan, bagaimana nasib kami ini, tak pernah dikunjungi satu kali pun oleh suami yang Dia anugerahkan kepada kami. Bukankah Tuhan menciptakan kami, para bidadari ini, dengan tujuan untuk menjadi pasangan bagi penghuni surga berjenis laki-laki? Kalau seperti ini terus, lebih baik kami dikembalikan saja kepada keadaan sebelumnya.”
Malaikat penjaga surga menjawab, “Kalian makhluk abadi. Sekali dicipta tak akan musnah selamanya.”
“Tolonglah, palingkan hatinya sedikit saja kepada kami.”
“Kalian sudah dibekali kecantikan tak bertara. Manfaatkan itu untuk menarik perhatiannya.”
“Kami sudah berusaha. Sering kami keluar dari kamar dan berjalan-jalan di taman, memperlihatkan diri kepadanya, dengan pakaian seksi menerawang, dengan langkah megal-megol, berharap dia tertarik melihat kami. Tapi dia selalu saja berduaan dengan istrinya yang bawaan dari dunia itu, sedikit pun kami tak diliriknya.”
“Bersabarlah.”
“Sudah ribuan tahun, Kami jadi merasa tak berguna sama sekali. Kalau memang keberadaan kami tak dibutuhkan, ambil saja kami kembali ke sisi-Nya.”
“Hmmh, Tuhan tidak mungkin mengambil kembali apa yang sudah Dia berikan kepada hamba-Nya.”
 “Lalu bagaimana dong? Apa yang harus kami lakukan?”
“O ya, ada satu cara. Kalian akan terlepas dari keadaan sekarang kalau Ridwan sendiri yang membebaskan kalian.”
“Tapi bagaimana caranya supaya dia membebaskan kami?”
“Sekarang pulanglah. Akan kusampaikan masalah kalian kepada Tuhan. Pasti akan ada solusinya.”
***
Satu tahun kemudian. Pada suatu hari, saat Ridwan dan Ema tengah bercengkrama di taman, beberapa sosok bidadari melintas di kejauhan, menghilang sejenak, lalu muncul lagi. Sebenarnya itu hal biasa, dan Ridwan menganggapnya hiasan taman belaka. Tapi kali itu Ema berkata, “Suamiku, lihat bidadari itu, kelihatannya dia sedang mencoba menarik perhatianmu.”
“Biarkan saja.”
“Kenapa sih kamu tak pernah acuhkan mereka? Mereka diciptakan Tuhan untukmu dan aku ikhlas.”
“Kenapa aku harus pedulikan burung-burung pipit padahal di depanku ada burung merak?”
“Setidaknya tengoklah mereka sesekali.”
“Kamu kenapa, Istriku? Apa kamu tak suka terus-menerus kutemani?”
“Bukan itu. Tentu aku bahagia sekali dapat selalu bersamamu. Tapi sebagai perempuan, aku dapat meraba-raba apa yang dirasakan para bidadari itu.”
“Baiklah. Daripada mengganggu, mungkin sebaiknya bidadari-bidadari itu kuberikan saja kepada temanku.”
“Siapa?”
Afwan. Dia mati waktu masih bujangan.”
***
Afwan tengah bermain catur dikeroyok para bidadarinya ketika Ridwan dan Ema datang. Ia terkejut dan gembira melihat kedatangan kawan akrabnya sewaktu di dunia.
“Wan! Sohibku Apa kabar,? Ayo main catur denganku.”
“Alhamdulillah, baik sekali, Sobatku Afwan! Bagaimana kabarmu?”
“Alhamdulillah, mahabaik, Sohib. Lihat, sekarang istriku banyak sekali padahal waktu di dunia satu pun tak punya.”
“Selamat, selamat. Kalau nambah lagi mau tidak?”
“Nambah lagi? Boleh banget.”
“Kalau begitu, aku akan memberikan seluruh bidadariku padamu. Sepulang dari sini, segera kukirim mereka ke tempatmu.”
“Lho, kenapa? Bosan?”
“Tidak. Cuma tidak selera.”
“Aneh. Bukannya mereka bohai-bohai dan bahenol? Perawan terus lagi, hehehe….”
“Hahaha…, buat apa? Istriku 40 kali lebih bohai dan lebih bahenol ketimbang bidadari mana pun.”
Untuk beberapa jenak Afwan memperhatikan Ema. Keningnya mengernyit. Tampaknya ia tak sepaham dengan ucapan sahabatnya.
Ridwan tertawa. “Ada baiknya kamu tak sependapat denganku. Berarti istriku aman dari gangguanmu, hehehe….”
“Enak saja! Ya sudah, tawaranmu kuterima. Sekarang ayo kita catur. Para bidadari itu payah semua. Sudah main keroyok pun tetap saja kalah.”
“Hehehe, otak mereka memang bukan di kepala….”
***
Begitulah. Para bidadari milik Ridwan terheran-heran ketika sore harinya mereka dijemput dengan kereta kencana lalu dibawa ke rumah Afwan.
“Mulai sekarang kalian menjadi milik sahabatku ini,” kata Ridwan. “Bergembiralah, sebab dia tak akan menyia-nyiakan kalian.” []

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!